Jakarta, CNBC Indonesia – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang pernah menyandang predikat raja tekstil Indonesia dan diperhitungkan di pasar global, kini harus menghadapi kenyataan pahit setelah resmi dinyatakan pailit. Kejatuhan perusahaan ini menjadi potret nyata bahwa dominasi pasar tidak menjamin keberlanjutan tanpa adaptasi dan inovasi.
Kejatuhan Sritex bermula sejak pandemi Covid-19 melanda dunia pada tahun 2020. Saat itu, kinerja keuangan perusahaan mulai melemah, dengan laba yang terus menurun. Puncaknya terjadi pada 2021, ketika Sritex mencatat kerugian besar hingga mencapai Rp15 triliun. Dari sisi bisnis, Sritex kehilangan banyak pesanan dari luar negeri. Kondisi dalam negeri pun tak kalah menantang, dengan serbuan produk tekstil impor murah yang membanjiri pasar. Ironisnya, saat perusahaan menghadapi tekanan dari berbagai sisi, manajemen Sritex disebut-sebut tidak tanggap terhadap situasi yang berkembang. Inovasi minim, dan strategi keuangan dinilai stagnan. Tidak ada upaya restrukturisasi besar-besaran atau perubahan arah bisnis yang bisa menyelamatkan Sritex dari krisis berkepanjangan.
Selengkapnya saksikan dialog Syarifah Rahma bersama Managing Editor CNBC Indonesia Ayyi Achmad Hidayah dan Editor CNBC Indonesia Damiana Cut Emeria Program Closing Bell CNBC Indonesia, Selasa (27/05/2025).
Sumber: www.cnbcindonesia.com